Thursday, January 18, 2007

sahabatku...

Sahabatku sedang amat bersedih... hatinya gundah luar biasa...

"Aku dah gak tau mesti gimana dalam perkawinanku ini, jeng. Sepertinya aku jalan di tempat. Perkawinan ini tidak menuju kemana-mana... Rasanya aku tidak punya energi lagi. Aku lakukan semuaaaa yang aku bisa. Apa yang belum aku lakukan? Marah? sudah. Sedih? jangan ditanya. Diskusi? sampai sama-sama bosan. Datang ke konsultan? sudah juga. Minta tolong pada Tuhan? memang selama ini dia tempatku minta tolong. Apa yang belum, coba?" tanya nya dengan putus asa.

Aku terdiam, tidak tahu mesti bilang apa? Seandainya aku si wanita bijaksana. Tapi aku wanita yang belum bijaksana, masih bijaksini kata suamiku.

"Apakah aku kurang berbesar hati? apakah aku kurang berkorban untuk keluarga ini? apakah aku kurang berkorban untuk suamiku? apa sih yang dia inginkan? aku beri yang dia mau, yang dia minta, tapi tetap saja aku salah dimatanya.. tetap saja aku bukanlah wanita yang dia inginkan... tetap saja aku adalah aib baginya... aku hanyalah setumpuk kewajiban baginya... aku adalah beban pulsa telepon untuknya... perhatianku dianggapnya kecurigaan, kasih sayangku dianggapnya kemanjaan yang berlebihan, diamku dianggapnya kemarahan, ceritaku dianggapnya keluh kesah, tingkah lakuku tidak ada yang benar dimatanya!"

"Aku pikir, aku kira, kami sudah menyelesaikan ini semua... aku kira kami sudah sepakat. Untuk meneruskan perkawinan ini, menjadi lebih sehat, menjadi lebih menyenangkan untuk aku dan dia. Perkawinan yang seutuhnya, bukan semata daftar tanggung jawab. Aku kira dia sudah memahami mana yang hitam dan mana yang putih. Aku kira dia serius dengan janji-janji dan komitmennya. Ternyata... semuanya cuma OMDO, omong doang. Di depanku dia baik... dia pengertian... dia penyayang... Tapi dipikirannya, aku adalah si wanita pengeluh, si pencuriga, si pemarah, si gak ngerti apa-apa tentang pekerjaannya... Tidak seperti teman-temanya, sahabat-sahabatnya, yang memahami dunia-nya, yang mengerti apa maunya, yang tidak curiga, yang tidak bertanya hal-hal yang tidak penting"

"Tidakkah ia berpikir? Aku tidak berdiam diri. Aku berusaha keras mempertahankan perkawinan ini. Aku begini karena aku sakit luar biasa. Aku begini karena dia memperlakukan aku seperti mainan. Tidakkah dia tahu, dia telah bermain-main dengan hatiku? Dia tidak mau berpisah, tapi dia juga tidak mau berubah. Dia tetap lelaki tanpa salah. Semua yang ia lakukan katanya demi aku.. Dia berselingkuh demi bisa memahami aku, alasan terbodoh yang pernah aku dengar."

"Dari dulu, aku tidak pernah meributkan kegiatanya. Siapa temannya, dengan siapa dia bergaul. Apa saja yang dia lakukan. Dia bebas menjalani harinya semau dia. Tapi kemudian, perlahan ini terkuak, tanpa sengaja semua terbuka. Allah begitu sayang pada kami, Dia tidak ingin suamiku tersesat dan tidak bisa kembali, Dia ingin aku lebih mengenal suamiku, Dia ingin kami belajar lebih banyak tentang makna pernikahan kami, maka Ia buka semuanya... Ia tunjukkan apa yang terjadi... Sungguh, sungguh jeng aku shock!"

"Sama sekali tidak pernah terpikir ini bisa terjadi.. Suamiku... Orang yang paling aku percaya. Laki-laki terbaik yang aku kenal. Suamiku yang baik, ayah yang dipuja anak-anakku ternyata mempermainkan kepercayaan yang aku titipkan padanya. Dan kamu tahu jeng apa yang paling menyakitkan?"

Aku menggeleng...

"Yang paling menyakitkan, dia melakukan semua itu tanpa rasa bersalah... bayangkan, tanpa rasa bersalah..."

"Dia sama sekali tidak mau mengakui perselingkuhannya.. cuma teman katanya... Tapi kok berteman seperti itu? Berteman kok mesranya lebih daripada kepada istri? Berteman kok memanggilnya dengan cinta, dengan sayang? Sedangkan aku istrinya, cukup dipanggil nama. Tanpa embel-embel, tanpa apapun. Berteman kok seluruh pulsanya habis untuk dia? Hanya 1-2 untuk menghubungi istri atau anak-anak? Berteman kok mengubah tingkah lakunya pada ku, istrinya? Pertemanannya telah ia tempatkan lebih tinggi daripada perkawinan kami. Karena ia lebih memilih membohongi aku daripada memperbaiki perkawinan kami. "

"Aku capek... aku lelah..... cuma ingin hidup baru.... memiliki kehidupan yang lebih baik. Aku gak tau maunya suamiku. Dia minta maaf, kemudian diulangi. Dia berjanji, tapi tidak ditepati. Tidak, sekali, tidak dua kali. Aku masih memberinya kesempatan. Aku terus mempercayai niat baiknya. Bodohkah aku untuk terus mempercayainya? Entahlah, tapi yang aku tahu, dia suamiku. Ayah anak-anakku. Yang aku pilih tanpa paksaan dari siapapun karena aku mencintainya dan dia mencintaiku. Yang baru sekarang terlihat sisi lainnya. Yang tetap aku yakini, dia orang baik. Tapi di sisi lain, aku merasa, dia akan senang kalau aku gak ada lagi di dunia ini. Karena aku bukan orang yang dia butuhkan. Supaya dia punya kebebasan memilih dalam dunia-nya yang terasing itu. Termasuk memilih teman hidup yang baru"

Aku terkesiap. Tidak menyangka sahabatku bisa berpikir sepicik ini. Tapi uraiannya penuh emosi, matanya basah, suaranya bergetar hebat.. Aku merasakan luka.. Luka yang amat dalam. Mungkin luka itu sedang berdarah sekarang. Perih baginya. Membuatnya lemah...

"Mungkin dengan begitu dia tahu, betapa dalam cintaku padanya"

"Suamiku baik, suamiku pintar... Makanya aku mau jadi istrinya. Suamiku orang hebat! Dia orang yang amat bertanggung jawab. Tidak akan pernah ada lelaki seperti dia di dunia ini lagi. Tidak akan. Hanya dia seorang.. Tapi hatiku lelah dengan sepak terjangnya, diamnya telah melukai hatiku, membuatku merasa tidak dibutuhkan. Pertemanan istimewanya telah membuat aku merasa tidak berharga. Penyangkalannya telah membuat aku merasa dipermainkan. Salahkah aku merasa seperti ini, Jeng?"

"Apa ada istri yang terima terus menerus dibohongi suaminya sendiri? Apa ada istri yang senang suaminya lebih akrab dengan perempuan lain daripada ia sendiri? Apa ada istri yang tidak kuatir melihat suaminya lebih memilih berdiskusi dengan perempuan lain, dibandingkan dengan dia sendiri? Apa ada istri yang tidak sedih bila suaminya, atas nama rasa sabar, memilih untuk mendiamkan masalah perkawinan dan malah mencari ketenangan di luar?"

Aku masih terdiam. Pertanyaan-pertanyaan yang aku tahu jawabannya, tapi aku tidak ingin membuatnya lebih menderita lagi..

Malam ini, sahabatku terbang ke kota lain. Mengurus bisnisnya disana. Bisnis yang dia bangun atas dukungan suami dan anak-anaknya. Dia bangun demi orang-orang tercinta... Disana ia berharap akan menemukan semangat baru, semangat untuk menjalani hari-hari ke depan. Semangat untuk membangun hidupnya lagi. Semangat yang pernah hilang. Semangat untuk menyingkirkan awan gelap dari hatinya. Semangat untuk nikmat beribadah lagi. Semoga dia berhasil disana dan selamat selalu.... Kemudian, kembali ke keluarganya. Ke anak-anaknya yang lucu-lucu, yang pasti amat dirindukan dan merindukannya. Kembali ke suaminya yang mungkin resah melihat istrinya kembali....

No comments: