Dalam perjalanan hidupku yang baru sebentar ini (compared to my father's age of course), sudah banyak perkawinan yang kusaksikan sendiri kehancurannya....
Teman-teman yang dengan rela atau pun terpaksa menjadi single parents, sahabat yang harus bertahan dengan perkawinan nya yang 'aneh', kenalan yang akhirnya kehilangan kepercayaan terhadap lawan jenis, atau malah mereka yang jadi tergila-gila dengan hubungan luar nikah gara-gara perkawinan nya tidak sesuai dengan harapan...
Katanya ada 6 faktor dalam sebuah perkawinan yang kokoh: Kepercayaan, kejujuran, keterbukaan, komitmen, tanggung jawab dan kesetiaan. Aku tidak tahu pasti bagaimana urutannya, tapi ibarat rumah, inilah pilarnya. Ibarat kapal, inilah mesinnya. Tidak berfungsinya satu mesin, pasti kapal tidak bisa melaju sekencang semestinya. Rumah yang kehilangan satu pilar, atau salah satu pilarnya rusak, pastilah tidak sekokoh rumah dengan pilar yang lengkap dan sempurna kualitasnya.
Seorang sahabat berkata, perempuan itu gak keberatan diajak hidup susah, diajak hidup miskin. Tapi begitu kepercayaannya disalah gunakan, dah gak ada ampun lagi. Hancur semua....
Menurutku, perkawinan juga butuh yang lain, yaitu saling menambah nilai untuk satu sama lain, wadah suami dan istri untuk mengambil manfaat dari satu sama lainnya, demi tujuan perkawinan itu sendiri.
Seseorang yang dekat di hatiku bilang, dia tidak masalah bertahan dalam perkawinan, semata demi anak-anaknya. Tidak apalah hubungannya dengan istri hancur lebur, tidak apalah kebutuhan batin nya tidak terpenuhi, tidak apalah dia merasa kesepian, yang penting anak-anak melihat orang tuanya utuh, yang penting dia bisa melihat anak-anaknya tumbuh, yang penting istrinya senang. Tapi, aku pikir apa manfaatnya mengosongkan hati? Apa yang bisa diberikan oleh hati yang kosong walaupun atas nama tanggung jawab?
Persoalan tidak akan pernah berhenti. Yang ini selesai yang lain datang lagi. Suami istri sudah berjanji menjalani bersama, mengapa tidak bicara? Diskusi memang kadang tidak meng-enak-kan. Ada dua kepala disana, dua kepala yang dibesarkan dengan cara berbeda. Dua kepala yang paling tidak telah hidup 20-an tahun lamanya dengan cara yang berbeda. Dua kepala yang punya keinginan, harapan dan impian yang seringkali berbeda.
Sahabat yang harus bertahan dengan perkawinannya yang 'aneh' demi anak-anaknya kini merasakan kehampaan yang luar biasa. Sudah terlambat untuk mundur, tapi juga terlalu sakit untuk maju. Anak-anaknya pun kehilangan arah dalam masa remajanya, karena orang tuanya sendiri tidak tahu bagaimana mengatasi masalahnya sendiri. Setiap hari mereka harus menyaksikan keberaadaan fisik orangtuanya, tanpa merasakan aura cinta. Orangtuanya gagal memberikan contoh apa itu kasih sayang dalam keluarga, apa itu cinta suami dan istri. Karena mereka telah memilih untuk tidak menyayangi pasangannya dengan cara yang semestinya dalam perkawinan. Tidak ada canda tawa ayah dan bunda di rumah. Tidak ada senyum ramah ayah dan bunda. Sekedar rutinitas. Bunda yang melayani ayah dan anak-anak. Ayah yang pulang ke rumah setelah bekerja. Hanya ada hubungan sekedarnya, basa basi tidak bermakna. Pergi tiap minggu dengan ayah dan bunda ke mal, ke saudara.
Kini anak-anaknya harus berjuang sendiri.... Hati mereka berdarah-darah dihina teman ... berulang kali dipanggil guru BP... Mereka tidak tahu apa yang salah dengan mereka. Mereka hanya melakukan apa yang mereka lihat dalam rumah mereka. Bukankah begitu juga sikap ayah dan bunda? Yang mereka tahu di dalam rumah adalah kehampaan.. Pura-pura...
Perkawinan ini. Ketika semua jalan sudah ditempuh, ketika semua pintu telah dibuka, ketika jalan buntu masih terus ditemui, apa yang harus dilakukan? Benarkah dengan mencari orang lain? Dengan berbagi cerita ringan dan lucu dengan orang lain akan menyelamatkan perkawinan? Benarkah dengan tidak melibatkan pasangan akan membuat perkawinan lebih aman? Benarkah dengan menutupi sesuatu akan menentramkan perkawinan? Benarkah dengan meninggalkan pasangan secara mental, akan membuat kita lebih bahagia? Ataukah justru dengan berbagi, justru dengan jujur dengan terbuka, dengan semangat cinta kasih untuk sebuah perkawinan yang sehat dan barokah semua akan jadi lebih baik? Walaupun awalnya banyak tubrukan kepentingan, banyak diskusi untuk menyamakan pikiran? Banyak argumentasi. Banyak ujian kesabaran. Banyak banyak sekali yang harus dilakukan...? Mana yang lebih baik? Mana yang lebih mulia di mata Allah?
Banyak... banyak sekali yang harus dipelajari dalam perkawinan. Cinta, rasa hormat, penghargaan, kejujuran, kesetiaan, tanggung jawab dan komitmen.
Satu persatu semua terkuak, hari demi hari tiap pribadi terlihat.
Pengalaman orang lain bisa menjadi cermin. Aib orang lain tidak perlu jadi gosip, cukup jadi buah pemikiran.
Cobaan memang tidak akan berhenti, tapi aku tahu aku sudah melakukan apa yang harus aku lakukan. Berjuang untuk perkawinanku.... Entah kemana jalan ini menuju, tapi aku lakukan apa yang harus kulakukan hingga bisa kukatakan, "aku sudah berusaha semampuku."
No comments:
Post a Comment