Friday, January 26, 2007

Another day...

A day just passed away.. everybody knows it will never return, no matter how much you want it, how hard you try.. It has passed.

Coba kulihat, apa ya yang sudah aku capai hari ini? Apa saja yang sudah aku lakukan? Hmmm... sudahkah aku bertegur sapa dengan orang-orang terkasih hari ini? Suami dan anak-anak. Sudahkah aku tunjukkan rasa sayangku pada mereka hari ini? Emmmhh..... sepertinya sudah yaaa... Walaupun harusnya bisa lebih baik lagi... Sudahkah aku bilang terima kasih pada Allah SWT hari ini? Yup! Sudah, Insya Allah. Sudahkah aku jadi karyawan yang baik hari ini? Aku selesaikan tugas-tugasku... Sudahkah aku jadi teman yang menyenangkan hari ini? Wah, yang ini mesti temen ku yang jawab yaaa...

Tapiii, ada sesuatu yang rasanya kurang. Ada satu hal penting yang aku miss. I have not done important things for my dreams yet today....

Aaaahhh... menyakitkan rasanya. Menyadari satu hari lagi pergi, tanpa pamit, sedangkan aku masih jalan di tempat.

Memang, dibutuhkan keberanian untuk mengubah hidup. Ada yang bilang, "big steps always start with small steps". Iya ya. Bener juga. Yang penting adalah mengambil langkahnya ituuu.. Nha itu lah yang luput aku kerjakan hari ini.

Rasanya waktu sedang tidak berpihak padaku beberapa waktu belakangan ini. Atau aku yang telah dengan rela menjadi budak waktu? Bukan memilih untuk jadi tuan dari sang waktu? Atau mungkin ini cuma masalah peletakkan prioritas yang kurang tepat? Aaaahhh.... pusing kepalaku.... perenungan ini membuat hatiku makin sakit karena tidak mendekatkan aku pada impianku... Yang penting tindakan... yang penting adalah berbuat sesuatu...

Perenungan penting, untuk menjernihkan hati, menentukan tujuan, membuat rencana. Tapi perenungan tidak akan membawa kita kemana-mana tanpa tindakan.

Sekarang, bagaimana aku harus mulai?

Memulai berarti melakukan sesuatu yang berbeda... Keluar dari comfort zone-ku. Rasanya beraaattt. Tampaknya prioritas yang aku pilih belakangan ini sudah benar, walaupun tidak membawaku lebih dekat lagi dengan impianku. Tapi, at the end of the day selalu ada perasaan tidak nyaman yang menelusup. Perasaan bersalah yang timbul tenggelam karena merasa telah melupakan hal yang penting.

Emmmhhh... bener kan? Merubah hidup membutuhkan keberanian. Keberanian untuk memutuskan dan kemudian menikmati prosesnya, termasuk segala resiko yang mungkin muncul. Ternyata itulah yang saat ini aku kehilangan.. Aku kehilangan keberanian untuk menerima resiko.

Satu tahun belakangan ini telah menjungkir balikkan seluruh sendi kehidupanku. Banyak keberhasilan yang aku raih. Subhanallah... Keberhasilan yang tidak pernah mampu kujanjikan pada diri sendiri. Allah Swt benar-benar mengujiku dengan segala kemudahan. Namun, di sisi lain, ada guncangan hebat. Guncangan yang tidak pernah aku perkirakan datangnya, sama dengan kemudahan itu. Guncangan maha dahsyat yang memporak-porandakan seluruh kepercayaan ku. Pada orang lain, dan pada diri sendiri. Masya Allah... luar biasa cobaan ini untuk ku.

Terseok-seok aku mencoba bangun. Lalu jatuh lagi... Mencoba lagi... dan jatuh lagi... Entah berapa galon air mata yang tumpah. Entah berapa paku yang telah menusuk hatiku... Entah berapa sumpah serapah yang rasanya ingin aku luapkan pada dunia... Entah berapa kali aku ingin berteriak lepas.... Entah berapa ratus doa & pujian yang aku lantunkan hanya padaNya penolongku yang sejati. Hanya untuk melepaskan beban berat ini....

Sekarang aku mencoba bangkit lagi. Berusaha mencapai impian-impianku lagi... Impian-impian yang aku bangun di sekeliling orang-orang terkasih. Impian-impian yang akan membawa kami ke dimensi yang berbeda, Insya Allah.

Tapi ternyata, aku masih belum menemukan keberanianku lagi... Keberanian untuk mengambil resiko lagi...

Tahukah kamu dimana kita bisa membeli keberanian? Tolong ya, aku ingin pergi kesana... Aku membutuhkannya... desperately....

Thursday, January 25, 2007

FEAR

I recently read a book, it is not important to disclose the title as you will never find the book everywhere since it's limited for certain groups.

Anyway, the book said:
Research shows that our our fear and worries
87% never come to real
7% come to real
6% you have a role on the result.

So it means most of our fear and worries will never be real. In other words, it would be impossible for us to avoid from a few, tiny little, fear feelings which finally become real . Do you remember that as Moslem we have to believe in Qadha and Qadhar? There it is.... Qadha and Qadhar of our life. Somethings that we have no control against the result. Then, what's the benefit of nurturing fear and worries?

The book also said that FEAR is : False Evidence Appearing Real

We have these imagination of things. What we afraid, worries, fear of... Most of them are illogical, yet we keep this imagination for only God knows why.

The Chinese say, "never cross a bridge until you see one"
The French (or Spanish?) say, "que sera sera" whatever will be will be

And we Moslems say, Rabbanaa aatinaa fiddunia hasanah.. wa fil akhirati hasanah.. waqqina adzaa bannaar...

Friday, January 19, 2007

My Lovely Angels

Two angels are sent to me..
From Heaven...

They are so lovely...
So cute... So sweet..
Their laugh is contagious...
Their eyes are sparkling with loves...
Their loves are tender...

They never question my love..
They always take me for who I am..
My bad days and my best days...

They never leave me...
They are always there by my side..
In bad times and in good times..

They always cherish my being...
Sometimes they tease my patience with their sillyness..
Hahahaha.. my Angels... my sweet... sweet Angels...
For sure I will always love you...
For sure I will always fight for you...

Allah has been very generous to send you to me...
Now I have to make sure I take good care of you...
So Allah will be glad He sent you to me and not to someone else..

Marriage or No Marriage

Dalam perjalanan hidupku yang baru sebentar ini (compared to my father's age of course), sudah banyak perkawinan yang kusaksikan sendiri kehancurannya....

Teman-teman yang dengan rela atau pun terpaksa menjadi single parents, sahabat yang harus bertahan dengan perkawinan nya yang 'aneh', kenalan yang akhirnya kehilangan kepercayaan terhadap lawan jenis, atau malah mereka yang jadi tergila-gila dengan hubungan luar nikah gara-gara perkawinan nya tidak sesuai dengan harapan...

Katanya ada 6 faktor dalam sebuah perkawinan yang kokoh: Kepercayaan, kejujuran, keterbukaan, komitmen, tanggung jawab dan kesetiaan. Aku tidak tahu pasti bagaimana urutannya, tapi ibarat rumah, inilah pilarnya. Ibarat kapal, inilah mesinnya. Tidak berfungsinya satu mesin, pasti kapal tidak bisa melaju sekencang semestinya. Rumah yang kehilangan satu pilar, atau salah satu pilarnya rusak, pastilah tidak sekokoh rumah dengan pilar yang lengkap dan sempurna kualitasnya.

Seorang sahabat berkata, perempuan itu gak keberatan diajak hidup susah, diajak hidup miskin. Tapi begitu kepercayaannya disalah gunakan, dah gak ada ampun lagi. Hancur semua....

Menurutku, perkawinan juga butuh yang lain, yaitu saling menambah nilai untuk satu sama lain, wadah suami dan istri untuk mengambil manfaat dari satu sama lainnya, demi tujuan perkawinan itu sendiri.

Seseorang yang dekat di hatiku bilang, dia tidak masalah bertahan dalam perkawinan, semata demi anak-anaknya. Tidak apalah hubungannya dengan istri hancur lebur, tidak apalah kebutuhan batin nya tidak terpenuhi, tidak apalah dia merasa kesepian, yang penting anak-anak melihat orang tuanya utuh, yang penting dia bisa melihat anak-anaknya tumbuh, yang penting istrinya senang. Tapi, aku pikir apa manfaatnya mengosongkan hati? Apa yang bisa diberikan oleh hati yang kosong walaupun atas nama tanggung jawab?

Persoalan tidak akan pernah berhenti. Yang ini selesai yang lain datang lagi. Suami istri sudah berjanji menjalani bersama, mengapa tidak bicara? Diskusi memang kadang tidak meng-enak-kan. Ada dua kepala disana, dua kepala yang dibesarkan dengan cara berbeda. Dua kepala yang paling tidak telah hidup 20-an tahun lamanya dengan cara yang berbeda. Dua kepala yang punya keinginan, harapan dan impian yang seringkali berbeda.

Sahabat yang harus bertahan dengan perkawinannya yang 'aneh' demi anak-anaknya kini merasakan kehampaan yang luar biasa. Sudah terlambat untuk mundur, tapi juga terlalu sakit untuk maju. Anak-anaknya pun kehilangan arah dalam masa remajanya, karena orang tuanya sendiri tidak tahu bagaimana mengatasi masalahnya sendiri. Setiap hari mereka harus menyaksikan keberaadaan fisik orangtuanya, tanpa merasakan aura cinta. Orangtuanya gagal memberikan contoh apa itu kasih sayang dalam keluarga, apa itu cinta suami dan istri. Karena mereka telah memilih untuk tidak menyayangi pasangannya dengan cara yang semestinya dalam perkawinan. Tidak ada canda tawa ayah dan bunda di rumah. Tidak ada senyum ramah ayah dan bunda. Sekedar rutinitas. Bunda yang melayani ayah dan anak-anak. Ayah yang pulang ke rumah setelah bekerja. Hanya ada hubungan sekedarnya, basa basi tidak bermakna. Pergi tiap minggu dengan ayah dan bunda ke mal, ke saudara.

Kini anak-anaknya harus berjuang sendiri.... Hati mereka berdarah-darah dihina teman ... berulang kali dipanggil guru BP... Mereka tidak tahu apa yang salah dengan mereka. Mereka hanya melakukan apa yang mereka lihat dalam rumah mereka. Bukankah begitu juga sikap ayah dan bunda? Yang mereka tahu di dalam rumah adalah kehampaan.. Pura-pura...

Perkawinan ini. Ketika semua jalan sudah ditempuh, ketika semua pintu telah dibuka, ketika jalan buntu masih terus ditemui, apa yang harus dilakukan? Benarkah dengan mencari orang lain? Dengan berbagi cerita ringan dan lucu dengan orang lain akan menyelamatkan perkawinan? Benarkah dengan tidak melibatkan pasangan akan membuat perkawinan lebih aman? Benarkah dengan menutupi sesuatu akan menentramkan perkawinan? Benarkah dengan meninggalkan pasangan secara mental, akan membuat kita lebih bahagia? Ataukah justru dengan berbagi, justru dengan jujur dengan terbuka, dengan semangat cinta kasih untuk sebuah perkawinan yang sehat dan barokah semua akan jadi lebih baik? Walaupun awalnya banyak tubrukan kepentingan, banyak diskusi untuk menyamakan pikiran? Banyak argumentasi. Banyak ujian kesabaran. Banyak banyak sekali yang harus dilakukan...? Mana yang lebih baik? Mana yang lebih mulia di mata Allah?

Banyak... banyak sekali yang harus dipelajari dalam perkawinan. Cinta, rasa hormat, penghargaan, kejujuran, kesetiaan, tanggung jawab dan komitmen.
Satu persatu semua terkuak, hari demi hari tiap pribadi terlihat.

Pengalaman orang lain bisa menjadi cermin. Aib orang lain tidak perlu jadi gosip, cukup jadi buah pemikiran.

Cobaan memang tidak akan berhenti, tapi aku tahu aku sudah melakukan apa yang harus aku lakukan. Berjuang untuk perkawinanku.... Entah kemana jalan ini menuju, tapi aku lakukan apa yang harus kulakukan hingga bisa kukatakan, "aku sudah berusaha semampuku."

Thursday, January 18, 2007

Genggamlah Tanganku, Peluklah Diriku

Mungkin itulah perkawinan, sebuah lembaga yang diagung-agungkan ketika kita akan memasukinya. Segala persiapan besar dan kecil dipersiapkan. Segala yang terbaik, yang ada dalam jangkauan, maupun yang tidak terjangkau, dipilih. Demi nama baik, demi gengsi atau demi apapun... Segala pertanyaan ditanyakan, benarkah ia jodohku? Benarkah aku sudah siap menikah? benarkah ia akan jadi istri/suami yang baik? benarkah ia akan jadi ibu/ayah yang baik? benarkah...? benarkah..?

Hari perkawinan diharapkan menjadi seindah buku dongeng putri dan pangeran. Tamu-tamu yang membludak... harum dan rapi.... Pengantin yang cantik dan ganteng. Keluarga yang tersenyum bahagia...

Semua yang hadir merasakan aura cinta dari sang pengantin yang luar biasa di ruang pesta... Tiap hembusan nafas mereka, tiap lirikan pandang satu dan lainnya.... terasakan cinta... Hmmmm.... wanginya surga dunia.....

Lalu, apa yang terjadi 5 atau 10 tahun kemudian?

Ketika beragam masalah sudah menghantam, ketika berbagai badai kecil dan besar menerjang, ketika segala perbedaan semakin menguak, ketika anggota keluarga semakin bertambah dan ketika-ketika lainnya....

Masihkan cinta itu terasakan di udara? Dalam setiap hembusan nafas? Dalam setiap genggaman tangan suami istri? Dalam setiap do'a? Ataukah cinta itu telah menjadi sebuah hiasan semata? Sebuah akta/buku telah menggantikannya dengan kewajiban?

Setelah 10 tahun, mungkin sekedar sentuhan dan genggaman tangan pun bisa menjadi masalah. Suami yang merasa aneh dengan permintaan suaminya. Istri yang merasa wajar dengan permintaanya. Nabi yang mulia mengatakan, tiap genggaman tangan suami istri akan meluluhkan dosa-dosa diantara mereka berdua. Salahkah seorang istri yang meminta disentuh, digandeng atau dipeluk mesra suaminya? Tak perlu setiap hari, sekali-sekali cukuplah... Jangan hanya semata pada saat ingin melepaskan syahwat... karena sentuhan punya keajaiban yang menakjubkan!

Seorang yang sekarat bisa kembali hidup hanya dengan dibelai-belai orang-orang terkasih setiap saat, merasakan ia masih dibutuhkan. Seorang bayi prematur bisa selamat karena merasakan sentuhan ibunya setiap hari, walaupun sang ibu berada di luar inkubator. Penelitian membuktikan, seorang anak yang sering disentuh orangtuanya akan menjadi anak yang penyayang, bertanggung jawab, tangguh! Sementara anak yang jarang disentuh orang tuanya cenderung menjadi pemberontak dan mudah patah..

Sentuhan yang tulus, tidak hanya akan sampai di kulit, dia akan menebarkan rasa hangat hingga ke jiwa dan hati, memberikan energi yang besar. Sentuhan itu menyembuhkan. Menyembuhkan hati yang sakit, menentramkan jiwa yang gelisah.. Sentuhan memberikan kedamaian. Sentuhan itu kasih sayang....

Karena itulah beda rasanya sentuhan manusia dan sentuhan besi. Jika sentuhan tidak memberikan manfaat bagi manusia, untuk apa Allah menciptakan kulit manusia sedemikian rupa. Hingga terasa hangat bila bersentuhan... Hangat tapi tidak menyakitkan... Besi juga bisa dihangatkan, tapi terasa amat memerihkan....

Lagipula, kemana lagi seorang istri meminta hal-hal seperti ini? Apakah harus ia pergi ke orang lain hanya untuk hal seperti ini? Walaupun suaminya rela, mampukah ia mempertanggungjawabkan pilihannya ini di akhirat nanti? Membiarkan istrinya bergandengan tangan, bersentuhan, berpelukan dengan lelaki yang bukan muhrimnya?
Jika Nabi yang mulia saja sudah menjanjikan gugurnya dosa suami istri hanya dengan bergenggaman tangan, apa lagi yang perlu dipertanyakan? Begitu mudahnya menggugurkan dosa, begitu nikmatnya perkawinan. Begitu indahnya Islam.....

sahabatku...

Sahabatku sedang amat bersedih... hatinya gundah luar biasa...

"Aku dah gak tau mesti gimana dalam perkawinanku ini, jeng. Sepertinya aku jalan di tempat. Perkawinan ini tidak menuju kemana-mana... Rasanya aku tidak punya energi lagi. Aku lakukan semuaaaa yang aku bisa. Apa yang belum aku lakukan? Marah? sudah. Sedih? jangan ditanya. Diskusi? sampai sama-sama bosan. Datang ke konsultan? sudah juga. Minta tolong pada Tuhan? memang selama ini dia tempatku minta tolong. Apa yang belum, coba?" tanya nya dengan putus asa.

Aku terdiam, tidak tahu mesti bilang apa? Seandainya aku si wanita bijaksana. Tapi aku wanita yang belum bijaksana, masih bijaksini kata suamiku.

"Apakah aku kurang berbesar hati? apakah aku kurang berkorban untuk keluarga ini? apakah aku kurang berkorban untuk suamiku? apa sih yang dia inginkan? aku beri yang dia mau, yang dia minta, tapi tetap saja aku salah dimatanya.. tetap saja aku bukanlah wanita yang dia inginkan... tetap saja aku adalah aib baginya... aku hanyalah setumpuk kewajiban baginya... aku adalah beban pulsa telepon untuknya... perhatianku dianggapnya kecurigaan, kasih sayangku dianggapnya kemanjaan yang berlebihan, diamku dianggapnya kemarahan, ceritaku dianggapnya keluh kesah, tingkah lakuku tidak ada yang benar dimatanya!"

"Aku pikir, aku kira, kami sudah menyelesaikan ini semua... aku kira kami sudah sepakat. Untuk meneruskan perkawinan ini, menjadi lebih sehat, menjadi lebih menyenangkan untuk aku dan dia. Perkawinan yang seutuhnya, bukan semata daftar tanggung jawab. Aku kira dia sudah memahami mana yang hitam dan mana yang putih. Aku kira dia serius dengan janji-janji dan komitmennya. Ternyata... semuanya cuma OMDO, omong doang. Di depanku dia baik... dia pengertian... dia penyayang... Tapi dipikirannya, aku adalah si wanita pengeluh, si pencuriga, si pemarah, si gak ngerti apa-apa tentang pekerjaannya... Tidak seperti teman-temanya, sahabat-sahabatnya, yang memahami dunia-nya, yang mengerti apa maunya, yang tidak curiga, yang tidak bertanya hal-hal yang tidak penting"

"Tidakkah ia berpikir? Aku tidak berdiam diri. Aku berusaha keras mempertahankan perkawinan ini. Aku begini karena aku sakit luar biasa. Aku begini karena dia memperlakukan aku seperti mainan. Tidakkah dia tahu, dia telah bermain-main dengan hatiku? Dia tidak mau berpisah, tapi dia juga tidak mau berubah. Dia tetap lelaki tanpa salah. Semua yang ia lakukan katanya demi aku.. Dia berselingkuh demi bisa memahami aku, alasan terbodoh yang pernah aku dengar."

"Dari dulu, aku tidak pernah meributkan kegiatanya. Siapa temannya, dengan siapa dia bergaul. Apa saja yang dia lakukan. Dia bebas menjalani harinya semau dia. Tapi kemudian, perlahan ini terkuak, tanpa sengaja semua terbuka. Allah begitu sayang pada kami, Dia tidak ingin suamiku tersesat dan tidak bisa kembali, Dia ingin aku lebih mengenal suamiku, Dia ingin kami belajar lebih banyak tentang makna pernikahan kami, maka Ia buka semuanya... Ia tunjukkan apa yang terjadi... Sungguh, sungguh jeng aku shock!"

"Sama sekali tidak pernah terpikir ini bisa terjadi.. Suamiku... Orang yang paling aku percaya. Laki-laki terbaik yang aku kenal. Suamiku yang baik, ayah yang dipuja anak-anakku ternyata mempermainkan kepercayaan yang aku titipkan padanya. Dan kamu tahu jeng apa yang paling menyakitkan?"

Aku menggeleng...

"Yang paling menyakitkan, dia melakukan semua itu tanpa rasa bersalah... bayangkan, tanpa rasa bersalah..."

"Dia sama sekali tidak mau mengakui perselingkuhannya.. cuma teman katanya... Tapi kok berteman seperti itu? Berteman kok mesranya lebih daripada kepada istri? Berteman kok memanggilnya dengan cinta, dengan sayang? Sedangkan aku istrinya, cukup dipanggil nama. Tanpa embel-embel, tanpa apapun. Berteman kok seluruh pulsanya habis untuk dia? Hanya 1-2 untuk menghubungi istri atau anak-anak? Berteman kok mengubah tingkah lakunya pada ku, istrinya? Pertemanannya telah ia tempatkan lebih tinggi daripada perkawinan kami. Karena ia lebih memilih membohongi aku daripada memperbaiki perkawinan kami. "

"Aku capek... aku lelah..... cuma ingin hidup baru.... memiliki kehidupan yang lebih baik. Aku gak tau maunya suamiku. Dia minta maaf, kemudian diulangi. Dia berjanji, tapi tidak ditepati. Tidak, sekali, tidak dua kali. Aku masih memberinya kesempatan. Aku terus mempercayai niat baiknya. Bodohkah aku untuk terus mempercayainya? Entahlah, tapi yang aku tahu, dia suamiku. Ayah anak-anakku. Yang aku pilih tanpa paksaan dari siapapun karena aku mencintainya dan dia mencintaiku. Yang baru sekarang terlihat sisi lainnya. Yang tetap aku yakini, dia orang baik. Tapi di sisi lain, aku merasa, dia akan senang kalau aku gak ada lagi di dunia ini. Karena aku bukan orang yang dia butuhkan. Supaya dia punya kebebasan memilih dalam dunia-nya yang terasing itu. Termasuk memilih teman hidup yang baru"

Aku terkesiap. Tidak menyangka sahabatku bisa berpikir sepicik ini. Tapi uraiannya penuh emosi, matanya basah, suaranya bergetar hebat.. Aku merasakan luka.. Luka yang amat dalam. Mungkin luka itu sedang berdarah sekarang. Perih baginya. Membuatnya lemah...

"Mungkin dengan begitu dia tahu, betapa dalam cintaku padanya"

"Suamiku baik, suamiku pintar... Makanya aku mau jadi istrinya. Suamiku orang hebat! Dia orang yang amat bertanggung jawab. Tidak akan pernah ada lelaki seperti dia di dunia ini lagi. Tidak akan. Hanya dia seorang.. Tapi hatiku lelah dengan sepak terjangnya, diamnya telah melukai hatiku, membuatku merasa tidak dibutuhkan. Pertemanan istimewanya telah membuat aku merasa tidak berharga. Penyangkalannya telah membuat aku merasa dipermainkan. Salahkah aku merasa seperti ini, Jeng?"

"Apa ada istri yang terima terus menerus dibohongi suaminya sendiri? Apa ada istri yang senang suaminya lebih akrab dengan perempuan lain daripada ia sendiri? Apa ada istri yang tidak kuatir melihat suaminya lebih memilih berdiskusi dengan perempuan lain, dibandingkan dengan dia sendiri? Apa ada istri yang tidak sedih bila suaminya, atas nama rasa sabar, memilih untuk mendiamkan masalah perkawinan dan malah mencari ketenangan di luar?"

Aku masih terdiam. Pertanyaan-pertanyaan yang aku tahu jawabannya, tapi aku tidak ingin membuatnya lebih menderita lagi..

Malam ini, sahabatku terbang ke kota lain. Mengurus bisnisnya disana. Bisnis yang dia bangun atas dukungan suami dan anak-anaknya. Dia bangun demi orang-orang tercinta... Disana ia berharap akan menemukan semangat baru, semangat untuk menjalani hari-hari ke depan. Semangat untuk membangun hidupnya lagi. Semangat yang pernah hilang. Semangat untuk menyingkirkan awan gelap dari hatinya. Semangat untuk nikmat beribadah lagi. Semoga dia berhasil disana dan selamat selalu.... Kemudian, kembali ke keluarganya. Ke anak-anaknya yang lucu-lucu, yang pasti amat dirindukan dan merindukannya. Kembali ke suaminya yang mungkin resah melihat istrinya kembali....